IPNU

IPNU

Kang Musthofa Part 2

Cover kang Musthofa
Sudah tepat tiga bulan aku bercerai dengan gus Fuad, aku seolah bukan Zahro yang dulu, aku mengisi hariku dalam penjara kegelapan waktu ini dengan dunia mimpi. Aku menciptakan dunia, di mana hanya ada aku dan kang Musthofa, dunia yang aku bebas bermesraan dengan waktu mengeja cinta bersama kang Musthofa. Sekarang, di saat masih semuda ini aku sudah menyandang gelar “janda”. Ingatanku kembali melayang pada beberapa waktu yang lalu, saat itu aku masuk nyantri di Pondok Darun Najah. Saat Kang Musthofa mengirim pesan pertama dan terakhir kalinya sebelum pindah pondok di kota berinisial K.
Perlahan dedaunan harapan di hatiku seolah semakin lebat, bersambut mesra dengan SMS yang dikirim oleh kang Musthofa. Namun, aku juga merasa terjerat tali keraguan. Ragu akan pengharapan dan penantianku padanya akan bersambut dengan angin kepastian. Lagipula, kang Musthofa tidak pernah mengatakan akan menjemputku dengan pinangannya seusai ia mendapat syahadah tahfidz nanti. Pun, selama ini kang Musthofa tidak mengatakan ia mencintaiku, merindukanku, menyayangiku, ataupun sekedar mengagumiku.
Dan dedaunan harapan itu lenyap seketika, seolah musim gugur sambang begitu saja. Harapan dan penantianku purna setelah mendengar bahwa Romo Kyai akan menjodohkan aku dengan Gus Fuad. Penantian yang menyimpan rasa cinta selama hampir dua tahun itu benar-benar terampas begitu saja.
“Ibu rasa, kamu tidak seharusnya menolak perjodohan itu nduk. Bukankah sudah pasti pilihan pak Kyai itu tepat? Tinggalkan keraguan, karena bisa jadi datangnya dari setan nduk!” begitu pendapat Ibu saat itu. Andai saja, aku punya keberanian untuk mengutarakan ada kang Musthofa di bilik rinduku. Tapi apa dayaku, jika kang Musthofa saja belum tentu menginginkanku. Hingga akhirnya dengan setengah hati aku menerima perjodohan ini.
Lantas, ingatanku melompat pada kenangan yang begitu menakutkan, mengerikan dalam hidupku selama aku menjadi istri dari gus Fuad.
“Wahh... alhamdulillah nduk, Gusti Allah mengangkat derajatmu. Budhe ikut bangga, sekarang kamu menjadi “neng”, diambil menantu pak Kyai. Ini sungguh kehormatan bagi keluarga kita” begitu kata budhe saat itu. Mungkin bagi mereka, suatu kebanggaan dan kehormatan mendapati takdirku. Tapi tidak bagiku, gelar itu begitu menakutkan. Terlebih lagi ketika aku menyadari bahwa dedaunan harapan itu masih ku simpan rapi.
Aku masih sangat mengharapkan kang Musthofa, meskipun aku sudah menjadi istri orang. Salahkah? Menurutku tidak, karena cintaku sejak awal hanya untuk kang Musthofa seorang. Tapi sekali lagi, aku sekarang adalah menantu dari pak Kyai. Tidak seharusnya aku memiliki perasaan ini.
Aku melalui sebulan pernikahanku dengan rasa perih. Perih karena aku tak dapat mencintai suamiku sendiri, perih karena aku tak mampu melaksanakan kewajibanku dengan baik, perih karena aku tak dapat melupakan kang Musthofa, juga perih pada kenyataan bahwa aku tak dapat bersikap layaknya menantu Kyai.
Hingga keperihanku bertambah lagi dan lagi setelah malam itu saat aku mulai mencintai suami yang ternyata menghianatiku. Sudahlah, aku ingin melupakan keperihan itu. Aku sudah tidak ingin lagi mendengar cerita ataupun menceritakan tentang gus Fuad.
“Maafkan abah nduk, abah tidak bisa bijaksana, abah terlalu percaya dalam mengambil keputusan tanpa istikhoroh, abah ceroboh nduk. Abah juga menghancurkan hidupmu dengan perjodohan ini” abah menangis di hadapanku tepat setelah aku keluar dari ruang pengadilan. Dapat kubaca penyesalan yang begitu dalam pada kedua telaga bening beliau.
“Zahro juga minta maaf Yai, karena tidak dapat mempertahankan pilihan Yai, mungkin ini bagian jalan yang Allah berikan pada Zahro untuk menemukan imam sejati Zahro Yai” aku merasa lega, meskipun di saat bersamaan aku merasa takut menyandang status baru ini.
“Abah tahu, kamu mencintai seseorangkan? Siapa dia nduk? Kenapa tidak bilang pada abah?”
Sejenak, aku terpaku. Bagaimana mungkin abah tahu itu? bagaimana caraku menjawab bahwa aku mencintai Kang Musthofa. Sekali lagi andai saja kang Musthofa tidak menjeratkan tali keraguan padaku, mungkin aku punya satu alasan yang setidaknya bisa ku berikan pada Romo Kyai saat itu.
“Siapa dia nduk?” Romo Kyai mengulangi pertanyaannya. Membangunkanku dari ingatan yang berkelabat lagi.
“Dia... Kang... Kang Musthofa Yai,” tak dapat aku bayangkan betapa merahnya wajahku saat menyebut nama itu. seketika tubuhku terasa bergetar hebat.
“Kenapa tidak kau bilang dari dulu nduk, biar abah tahu,” Begitu tanggapan Romo Kyai saat itu.
Lantas sekarang, masih pantaskah aku menantikan kang Musthofa? Ia bahkan lebih pantas mendapat yang terbaik. Lagipula aku tak tahu bagaimana kabarnya. Mungkin saja, ia sudah selesai mengeja dan menyimpan sajak-sajak cinta-Nya di luar kepala. Lantas menikah dengan gadis yang cantik, cerdas, sekaligus sesama pemangku Qur’an.
Aku masih mengenang ingatanku yang melompat-lompat ini di kamarku, sambil menyaksikan percintaan angin dengan pepohonan di taman depan jendelaku, ketika terdengar suara ibu dari luar.
“Nduk... ada tamu, keluarlah sebentar. Jangan terlalu lama mengurung diri dalam kesedihan, tidak baik nduk,” lembut, penuh kasih sayang suara ibu terdengar nyaring di telingaku. Ibu benar, sudah tiga bulan ini aku mengurung diri, jarang keluar. Aku malu, juga takut pada tanggapan orang tentang diriku.
“Siapa bu?”
“Temuilah, nanti kamu akan tahu sendiri nduk” ibu beranjak meninggalkanku. Dengan segera, aku mencuci wajahku. Bercermin sebentar, aku baru sadar wajahku tampak kusut dan pucat.
“Bagaimana kabarmu nduk?” Romo Kyai langsung menyambutku dengan hangat sangat kulangkahkan kaki di ruang tamu.
Aku mematung, lidahku kelu. Tak percaya pada sosok bersarung yang duduk di samping beliau. Dia nampak tersenyum menatapku, senyum yang masih sama dengan beberapa tahun yang lalu. Allahu Rabbi, aku seolah kembali sebagaimana gadis yang jatuh cinta. Tubuhku hampir tak mampu menahan getaran hebat di hatiku. Tapi, bukankah aku memang masih suci? Masih perawan? Tidak salahkah aku jika kembali berharap?
“Duduk sini nduk,” Ibu menarik tanganku membimbing aku duduk di sampingnya. Di hadapan Kang Musthofa.
“Abah datang meminangmu untuk kang Musthofa nduk, dan insyaAllah abah sudah mengistikhoroinya. Sesuai dengan arti namanya Musthofa yang berarti (yang terpilih)” kata-kata itu seolah bagian dari mimpiku. Tanpa terasa butiran hangat menetes di pipiku. Masih pantaskah aku? Aku seorang janda, sedang ia? Dia seorang hafidz, masih muda. Kang Musthofa tampak menunduk menyimpan wajah kemerahannya, karena menahan malu dan segala rasa yang mungkin membuncah di dada.
“Aku akan memberikan mahar tiga puluh Juzku dik Zahro” pelan, namun jelas terdengar. Ia masih menunduk.
Entahlah dunia yang saat ini kupijak, mimpikah atau kenyataan? Aku sudah tak bisa menggunakan otakku untuk membedakan antara mimpi dan kenyataan. Tapi sama saja bukan? Mimpi tentangmu adalah kenyataan yang paling hidup kang Musthofa. Bukankah aku memang sudah hidup denganmu dalam dunia baruku? Saling mengeja cinta, bercengkerama mesra pada hamparan hehijaunya. Di sana aku telah menjadi istri sekaligus santrimu. Jadi, apa arti semua ini? Mimpikah atau kenyataan?
*cerpen ini cerpen yang masuk harapan 2 gebyar hari santri Nasional oleh Kemenag


Penulis bernama pena Husna Assyafa, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia pada tanggal 9 November 1994. Saat ini sedang belajar di IAIN Ponorogo, dan menimba ilmu di PPTQ Al-Muqorrobin Ponorogo. Mengikuti grup-grup menulis baik online ataupun tidak. Di antara gerakan literasi online yang diikuti komunitas bisa Menulis, Ruang Aksara, Laskar Literasi Sajak-Sajak Nusantara, Taktik Jurnalistik Comunity, dll. Sedangkan gerakan literasi secara tatap muka di antaranya Sekolah Literasi Gratis STKIP Ponorogo, juga penggagas dan pemimpin Komunitas Literasi IAIN Ponorogo. Pernah menjadi team editor di buletin Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ponorogo. Cerpen-cerpennya yang menang dalam perlombaan di antaranya Ruang Cinta Untuk Negeri Kita (harapan III lomba cerpen IPPNU Ponorogo), dan Senja Bulan September (majalah madani Tulung Agung). Salah satu puisinya masuk dalam kategori puisi terpilih pada Lomba cipta puisi RUAS (Ruang Aksara) ke-3. Dan cerpennya yang berjudul Kang Musthofa memenangkan harapan II lomba yang diadakan Kemenag dalam rangka ‘Gebyar Hari Santri Nasional’ kategori santri, beberapa puisi-puisinya termuat di koran lokal. Karya penulis yang sudah di terbitkan berjudul Luka dan Cermin Cinta (2016, oleh Soega Publishing) berupa buku kumpulan cerpen. Buku antologi puisinya berjudul Melankolia Surat Kematian (Soega Publishising & komunitas RUAS, 2016). Sedangkan kumpulan cerpen bersamanya berjudul Almira dan Gholan (Spectrum Sutejo center, Ponorogo), Di Bawah Naungan Nur (Departemant Agama RI, 2016). Buku kumpulan cerpennya yang terbaru Kang Musthofa (STKIP Ponorogo & Terakata Jogjakarta, Februari 2017). Saat ini sedang merampungkan novelnya dan dua antologi puisi tunggalnya, selain itu saat ini tengah menggagas pendirian komunitas literasi di Wonogiri. Bisa dihubungi dengan kontak No. HP 085642310866. Fb : Husna Assyafa.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kang Musthofa Part 2"

Posting Komentar