Cover kang Musthofa |
Sudah
tepat tiga bulan aku bercerai dengan gus Fuad, aku seolah bukan Zahro yang
dulu, aku mengisi hariku dalam penjara kegelapan waktu ini dengan dunia mimpi.
Aku menciptakan dunia, di mana hanya ada aku dan kang Musthofa, dunia yang aku
bebas bermesraan dengan waktu mengeja cinta bersama kang Musthofa. Sekarang, di
saat masih semuda ini aku sudah menyandang gelar “janda”. Ingatanku kembali
melayang pada beberapa waktu yang lalu, saat itu aku masuk nyantri di Pondok
Darun Najah. Saat Kang Musthofa mengirim pesan pertama dan terakhir kalinya sebelum
pindah pondok di kota berinisial K.
Perlahan
dedaunan harapan di hatiku seolah semakin lebat, bersambut mesra dengan SMS
yang dikirim oleh kang Musthofa. Namun, aku juga merasa terjerat tali keraguan.
Ragu akan pengharapan dan penantianku padanya akan bersambut dengan angin
kepastian. Lagipula, kang Musthofa tidak pernah mengatakan akan menjemputku
dengan pinangannya seusai ia mendapat syahadah tahfidz nanti. Pun,
selama ini kang Musthofa tidak mengatakan ia mencintaiku, merindukanku,
menyayangiku, ataupun sekedar mengagumiku.
Dan
dedaunan harapan itu lenyap seketika, seolah musim gugur sambang begitu saja.
Harapan dan penantianku purna setelah mendengar bahwa Romo Kyai akan
menjodohkan aku dengan Gus Fuad. Penantian yang menyimpan rasa cinta selama
hampir dua tahun itu benar-benar terampas begitu saja.
“Ibu
rasa, kamu tidak seharusnya menolak perjodohan itu nduk. Bukankah sudah pasti
pilihan pak Kyai itu tepat? Tinggalkan keraguan, karena bisa jadi datangnya
dari setan nduk!” begitu pendapat Ibu saat itu. Andai saja, aku punya
keberanian untuk mengutarakan ada kang Musthofa di bilik rinduku. Tapi apa
dayaku, jika kang Musthofa saja belum tentu menginginkanku. Hingga akhirnya
dengan setengah hati aku menerima perjodohan ini.
Lantas,
ingatanku melompat pada kenangan yang begitu menakutkan, mengerikan dalam
hidupku selama aku menjadi istri dari gus Fuad.
“Wahh...
alhamdulillah nduk, Gusti Allah mengangkat derajatmu. Budhe ikut bangga,
sekarang kamu menjadi “neng”, diambil menantu pak Kyai. Ini sungguh kehormatan
bagi keluarga kita” begitu kata budhe saat itu. Mungkin bagi mereka, suatu
kebanggaan dan kehormatan mendapati takdirku. Tapi tidak bagiku, gelar itu
begitu menakutkan. Terlebih lagi ketika aku menyadari bahwa dedaunan harapan
itu masih ku simpan rapi.
Aku
masih sangat mengharapkan kang Musthofa, meskipun aku sudah menjadi istri
orang. Salahkah? Menurutku tidak, karena cintaku sejak awal hanya untuk kang
Musthofa seorang. Tapi sekali lagi, aku sekarang adalah menantu dari pak Kyai.
Tidak seharusnya aku memiliki perasaan ini.
Aku
melalui sebulan pernikahanku dengan rasa perih. Perih karena aku tak dapat
mencintai suamiku sendiri, perih karena aku tak mampu melaksanakan kewajibanku
dengan baik, perih karena aku tak dapat melupakan kang Musthofa, juga perih
pada kenyataan bahwa aku tak dapat bersikap layaknya menantu Kyai.
Hingga
keperihanku bertambah lagi dan lagi setelah malam itu saat aku mulai mencintai
suami yang ternyata menghianatiku. Sudahlah, aku ingin melupakan keperihan itu.
Aku sudah tidak ingin lagi mendengar cerita ataupun menceritakan tentang gus
Fuad.
“Maafkan
abah nduk, abah tidak bisa bijaksana, abah terlalu percaya dalam mengambil
keputusan tanpa istikhoroh, abah ceroboh nduk. Abah juga menghancurkan hidupmu
dengan perjodohan ini” abah menangis di hadapanku tepat setelah aku keluar dari
ruang pengadilan. Dapat kubaca penyesalan yang begitu dalam pada kedua telaga
bening beliau.
“Zahro
juga minta maaf Yai, karena tidak dapat mempertahankan pilihan Yai, mungkin ini
bagian jalan yang Allah berikan pada Zahro untuk menemukan imam sejati Zahro
Yai” aku merasa lega, meskipun di saat bersamaan aku merasa takut menyandang
status baru ini.
“Abah
tahu, kamu mencintai seseorangkan? Siapa dia nduk? Kenapa tidak bilang pada
abah?”
Sejenak,
aku terpaku. Bagaimana mungkin abah tahu itu? bagaimana caraku menjawab bahwa
aku mencintai Kang Musthofa. Sekali lagi andai saja kang Musthofa tidak
menjeratkan tali keraguan padaku, mungkin aku punya satu alasan yang setidaknya
bisa ku berikan pada Romo Kyai saat itu.
“Siapa
dia nduk?” Romo Kyai mengulangi pertanyaannya. Membangunkanku dari ingatan yang
berkelabat lagi.
“Dia...
Kang... Kang Musthofa Yai,” tak dapat aku bayangkan betapa merahnya wajahku
saat menyebut nama itu. seketika tubuhku terasa bergetar hebat.
“Kenapa
tidak kau bilang dari dulu nduk, biar abah tahu,” Begitu tanggapan Romo Kyai
saat itu.
Lantas
sekarang, masih pantaskah aku menantikan kang Musthofa? Ia bahkan lebih pantas
mendapat yang terbaik. Lagipula aku tak tahu bagaimana kabarnya. Mungkin saja,
ia sudah selesai mengeja dan menyimpan sajak-sajak cinta-Nya di luar kepala.
Lantas menikah dengan gadis yang cantik, cerdas, sekaligus sesama pemangku
Qur’an.
Aku
masih mengenang ingatanku yang melompat-lompat ini di kamarku, sambil
menyaksikan percintaan angin dengan pepohonan di taman depan jendelaku, ketika
terdengar suara ibu dari luar.
“Nduk...
ada tamu, keluarlah sebentar. Jangan terlalu lama mengurung diri dalam
kesedihan, tidak baik nduk,” lembut, penuh kasih sayang suara ibu terdengar
nyaring di telingaku. Ibu benar, sudah tiga bulan ini aku mengurung diri,
jarang keluar. Aku malu, juga takut pada tanggapan orang tentang diriku.
“Siapa
bu?”
“Temuilah,
nanti kamu akan tahu sendiri nduk” ibu beranjak meninggalkanku. Dengan segera,
aku mencuci wajahku. Bercermin sebentar, aku baru sadar wajahku tampak kusut
dan pucat.
“Bagaimana
kabarmu nduk?” Romo Kyai langsung menyambutku dengan hangat sangat kulangkahkan
kaki di ruang tamu.
Aku
mematung, lidahku kelu. Tak percaya pada sosok bersarung yang duduk di samping
beliau. Dia nampak tersenyum menatapku, senyum yang masih sama dengan beberapa
tahun yang lalu. Allahu Rabbi, aku seolah kembali sebagaimana gadis yang jatuh
cinta. Tubuhku hampir tak mampu menahan getaran hebat di hatiku. Tapi, bukankah
aku memang masih suci? Masih perawan? Tidak salahkah aku jika kembali berharap?
“Duduk
sini nduk,” Ibu menarik tanganku membimbing aku duduk di sampingnya. Di hadapan
Kang Musthofa.
“Abah
datang meminangmu untuk kang Musthofa nduk, dan insyaAllah abah sudah
mengistikhoroinya. Sesuai dengan arti namanya Musthofa yang berarti (yang
terpilih)” kata-kata itu seolah bagian dari mimpiku. Tanpa terasa butiran
hangat menetes di pipiku. Masih pantaskah aku? Aku seorang janda, sedang ia?
Dia seorang hafidz, masih muda. Kang Musthofa tampak menunduk menyimpan wajah
kemerahannya, karena menahan malu dan segala rasa yang mungkin membuncah di
dada.
“Aku
akan memberikan mahar tiga puluh Juzku dik Zahro” pelan, namun jelas terdengar.
Ia masih menunduk.
Entahlah
dunia yang saat ini kupijak, mimpikah atau kenyataan? Aku sudah tak bisa
menggunakan otakku untuk membedakan antara mimpi dan kenyataan. Tapi sama saja
bukan? Mimpi tentangmu adalah kenyataan yang paling hidup kang Musthofa.
Bukankah aku memang sudah hidup denganmu dalam dunia baruku? Saling mengeja
cinta, bercengkerama mesra pada hamparan hehijaunya. Di sana aku telah menjadi
istri sekaligus santrimu. Jadi, apa arti semua ini? Mimpikah atau kenyataan?
*cerpen ini cerpen yang masuk harapan 2 gebyar hari santri Nasional
oleh Kemenag
Penulis
bernama pena Husna Assyafa, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia pada
tanggal 9 November 1994. Saat ini sedang belajar di IAIN Ponorogo, dan menimba
ilmu di PPTQ Al-Muqorrobin Ponorogo. Mengikuti grup-grup menulis baik online
ataupun tidak. Di antara gerakan literasi online yang diikuti komunitas bisa
Menulis, Ruang Aksara, Laskar Literasi Sajak-Sajak Nusantara, Taktik
Jurnalistik Comunity, dll. Sedangkan gerakan literasi secara tatap muka di
antaranya Sekolah Literasi Gratis STKIP Ponorogo, juga penggagas dan pemimpin
Komunitas Literasi IAIN Ponorogo. Pernah menjadi team editor di buletin Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ponorogo. Cerpen-cerpennya yang menang dalam perlombaan
di antaranya Ruang Cinta Untuk Negeri Kita (harapan III lomba cerpen
IPPNU Ponorogo), dan Senja Bulan September (majalah madani Tulung
Agung). Salah satu puisinya masuk dalam kategori puisi terpilih pada Lomba
cipta puisi RUAS (Ruang Aksara) ke-3. Dan cerpennya yang berjudul Kang
Musthofa memenangkan harapan II lomba yang diadakan Kemenag dalam rangka
‘Gebyar Hari Santri Nasional’ kategori santri, beberapa puisi-puisinya termuat
di koran lokal. Karya penulis yang sudah di terbitkan berjudul Luka dan
Cermin Cinta (2016, oleh Soega Publishing) berupa buku kumpulan cerpen.
Buku antologi puisinya berjudul Melankolia Surat Kematian (Soega
Publishising & komunitas RUAS, 2016). Sedangkan kumpulan cerpen bersamanya
berjudul Almira dan Gholan (Spectrum Sutejo center, Ponorogo), Di
Bawah Naungan Nur (Departemant Agama RI, 2016). Buku kumpulan cerpennya
yang terbaru Kang Musthofa (STKIP Ponorogo & Terakata Jogjakarta,
Februari 2017). Saat ini sedang merampungkan novelnya dan dua antologi puisi
tunggalnya, selain itu saat ini tengah menggagas pendirian komunitas literasi
di Wonogiri. Bisa dihubungi dengan kontak No. HP 085642310866. Fb : Husna
Assyafa.
0 Response to "Kang Musthofa Part 2"
Posting Komentar