IPNU

IPNU

Senyuman Bidadari Surga

Ilustrasi Cerpen



Cerpen oleh Husna Assyafa
            Malam memudar, menyembulkan selaput terang memanjakan mataku yang baru saja selesai memuroja’ah ar-Rahman dengan bidadariku. Paduan detakan jarum jam dengan burung yang mulai berkicau riang, menambah keromantisan suasana seolah menyanyikan lagu cinta. Langit biru membeku, hijrahkan sisa-sisa gulita, panorama yang indah pikirku menyusup melalui sibakan tirai emas di depan meja makanku. Pandanganku teralih pada sosok dengan tangan lentik dan wajah berseri yang cekatan menggoreng nasi di seberang. Subhanallah… hamparan keindahan alam-Mu pun tersamarkan oleh keindahan yang Engkau hamparkan di depanku saat ini, pemandangan yang tak bisa mengedipkan mataku. Merasa ku perhatikan istriku menoleh, tersenyum lembut membuat tubuhku terasa membeku dan bergetar hebat. Aku berpaling sesaat sambil sesekali mencuri pandang padanya.
            “Pemandangannya indah ya mas,” tutur gadis cantik yang tiba-tiba duduk disampingku. Dialah bidadariku, bernama Nur A’ini.
            “Ah… tak jauh lebih indah darimu kok sayang,” kataku sambil menatap lekat wajahnya. Dia tersenyum manis, dapat kubaca rona malu diwajahnya yang cantik itu.
            “Mas gombal terus ya, ya sudah mas segera sarapan keburu dingin lho mas,” jawabnya menghindar dari tatapanku.
            Aini menggeser kursi di depan meja makan, tangan lentiknya menyajikan sepiring nasi goreng dan segelas teh di mejaku. Aku sangat suka melihat wajah istriku saat tersipu malu seperti ini, kami memang sudah menikah lama. Tapi Aini masih saja malu dan salah tingkah saat kugoda. Aku melangkah menghampirinya, ia selalu menampakkan wajah cerianya didepanku. Senyum yang selalu merekah di bibirnya selalu meredam segala permasalahan yang sedang berkecamuk dibenakku. Aku kembali teringat kata-kata salah satu dosenku “istri yang sholeha adalah ketika kita memandangnya maka tentramlah hati kita, jika kita memerintahnya ia patuhi perintah itu, ia adalah sebaik-baik perhiasan dunia ini” kata-kata beliau itu kubuktikan kini, bersama dengan Aini.
            “Mas tidak gombal dik, serius boleh kamu tidak percaya pada apapun yang mas katakan, tapi percayalah pada satu hal satu-satunya yang mas cintai, yaitu kamu sayang,” sedikitpun aku tidak berniat gombal padanya, karena pada kenyataannya hanya dia yang sangat aku cintai.
            “Saya percaya mas,”
            “Kalau suatu saat nanti mas membuat kesalahan yang membuat hati adik hancur dan terluka, apa yang akan kamu lakukan sayang?”
            “Aku akan marah, untuk sementara waktu….” Lama dia berhenti.
            Aku tahu Aini, dia wanita yang sangat lembut. Tak mudah marah dan selalu memaafkan, aku mengenalnya sejak aku kuliah semester V saat itu dia masih semester III. Dia sering menjadi pelanggan di fotokopianku. Dengan wajah yang pas-pasan sepertiku tentu saja tak banyak mahasiswi yang mau menyapaku, tapi Aini berbeda dengan mereka. Selain ia cantik dia juga ramah pada semua orang. Sejak saat itulah aku mencari-cari informasi tentangnya, hingga semua yang ada pada dirinya membuatku semakin jatuh cinta. Aku kembali menatap lekat bidadari yang menuangkan air putih pada gelas di depanku.
            “Tapi… aku akan segera memaafkan dan mencoba memahami alasan mas, bukankah cinta itu bukan berarti tanpa kesalahan? buat adik yang terpenting kita saling memaafkan, menjaga kepercayaan masing-masing, bukankah begitu mas?” tanyanya sambil menatapku mesra.
            “Kamu benar dik. Mas mencintaimu tanpa alasan apapun, karena alasan mas hanya satu, Allah meletakkan namamu di istana hatiku,”
            “Aini juga mencintai mas,” dia menyandar di bahuku, dapat kurasakan getaran ketulusan di tubuhnya.
            Pagi ini aku yakin, burung-burrung yang berkicauan diluar sangat iri denganku dan Aini. Kami yang selalu bertengger di atas dahan-dahan cinta kami, dengan saling berpegangan agar dahan itu tak lekas patah.
            “Tuh kan, nasi gorengnya dingin mas sich,”
            “Dingin ataupun hangat asal buatan bidadariku ini akan selalu nikmat kok,”
            “cobain dulu dik!” pintaku sambil menyodorkan sendok di depan mulutnya.
            “Jangan di suapin mas, saya malu!”tuturnya sambil memegang tanganku untuk mengambil sendok.
            Aku merasa sangat bahagia hidup bersama Aini, dia yang menjadikan semua hariku terasa lebih indah dan berwarna, aku masih sangat ingat ketika aku berkata mengapa ia menerima khitbahanku? Bahkan diluar sana banyak pemuda berjas yang antri melamarnya, aku berbeda dengan dirinya tak banyak ilmu juga tak banyak keistimewaan. Ia memilihku dengan alasan yang tak pernah ku duga, bagaimana mungkin seorang gadis sepertinya memilih pemuda sepertiku dengan alasan yang sangat tidak masuk akal, ya Aini memilihku dengan alasan aku adalah orang yang mandiri.
            “Pokoknya, mas suapin!”paksaku, hingga akhirnya dia mau.
            “Bagaimana? Jangan-jangan ada racun cintanya,” godaku sambil mencubit pipi chubbynya.
            Bagiku tak ada lagi moment yang lebih istimewa dari waktu-waktu yang aku lewatkan dengan bidadariku. Bahkan dalam setiap do’aku, tak pernah kulewatkan permintaanku pada yang Maha Cinta. Aku berharap dialah bidadari yang tercatat untukku di akhirat nanti.
            “Aini maafin mas ya, mas belum bisa menjadi imam yang baik, justru kamu yang selalu mengajari mas untuk menjalankan perahu kita” ucapku disela-sela sarapan pagi.
            “Tidak mas, bagi Aini mas adalah imam terbaik, nahkoda yang paling handal, perisai hati Aini, yang tak akan pernah Aini lihat di manapun. Bukankah keselamatan dalam mengarungi samudra kehidupan yang luas nan buas ini bukan hanya tanggung jawab nahkoda mas? Orang yang di belakangnyapun ikut serta.”
Jawaban istriku begitu luar biasa. Menyadari betapa banyak kekuranganku. Ketika aku menikahinya aku bukanlah mahasiswa yang cerdas, nilaiku selalu standar karena aku harus mencari biaya kuliah sendiri dengan membuka fotokopian. Agamaku juga biasa-biasa saja, aku bukan orang yang begitu taat dan alim. Sedangkan Aini dia wanita sederhana, anggun, cerdas, sholeha. Yang membuatku bertambah kagum adalah prinsipnya, dia wanita yang siap hidup dengan siapapun asal yang dipilihkan Allah.
            “Mas sangat kagum padamu dik, bahkan teman-teman mas iri,” ku tatap lekat-lekat matanya yang bening dan berwarna coklat itu. Rasanya aku tak ingin berkedip sedikitpun.
            “Kenapa mas? Aini gadis biasa kok mas, bukan orang yang special seperti wanita-wanita lain,” tuturnya dengan nada lembut.
            “Kamu memang biasa di depan mata para wanita lain karena mereka menilai dengan pangkat, harta, dan materi. Sedangkan kamu bidadariku… hanya minta mahar surah ar-rahman,”
            Saat aku menghitbahnya, aku masih tukang fotokopi yang baru saja lulus S1 dengan bermodalkan nekat, aku beranikan diri melamar bidadari hidupku itu. Bahkan kalaupun ia meminta mahar yang mahal entahlah harus kemana aku mencari uang. Namun benar-benar jawaban yang luar biasa ketika aku mempertanyakan mahar apa yang ia inginkan dariku, ia hanya meminta mahar berupa hafalan surat ar-rahman, surat yang ketika aku mondok sempat kuhafalkan.
            “Karena Aini ingin mas ingat, mas adalah jembatan agar Aini dapat dekat dengan Allah. Sehingga kita akan bersama-sama mendekat pada-Nya, mensyukuri segala nikmat-Nya. Mas membuat Aini banyak belajar,” entah mengapa tiba-tiba jari-jarinya yang indah dan lentik itu telah melingkar di pinggangku. Aku tak lagi dapat berkata, bahasa cintalah yang menggerakkan tanganku untuk mengelus jilbab merah mudanya.
            “Aini sayang mas,” katanya sembari mempererat pelukannya.

 BERSAMBUNG.........
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Senyuman Bidadari Surga"

Posting Komentar