ilustrasi |
Biarlah telaga berucap
Tentang malam gelap
Ketika engkau menyergap
Lantas, akupun terperangkap
Hujan masih menari-nari, menyeret rentetan embun dini hari. Ah..
mungkin hujan itu tengah merindui bumi ini, percuma dihalang dengan jari. Gadis
cantik dengan gaun putihnya, masih menangis sesenggukan di tepi telaga, cahaya
remang-remang menyembunyikan wajahnya yang kian sembab dan basah oleh air mata.
Pernahkah engkau mengamati gerakan
hujan? Seolah ia menyerang hamparan tanah. Tapi sebenarnya tidak, hujan itu
hanya ingin menunjukkan kasih sayang dan kerinduannya pada bumi. Begitulah yang
sebenarnya Dia lakukan pada gadis itu.
Di bawah guyuran hujan itu, gadis
cantik memeluk lututnya. Jikapun bisa, ia
ingin berlari sekencangnya, meninggalkan semua serpihan hatinya. Sesekali ia
menggigit jemarinya, ini adalah dua hari ia seolah menjadi telaga bening itu,
terasing di antara hamparan belantara. Gadis cantik itu, menguraikan rambutnya.
Ia tanggalkan sehelai kain yang selalu melindungi mahkotanya itu.
“Omong kosong semua, aku tidak ingin
lagi percaya pada semua hal. Termasuk Engkau Tuhan, aku tidak percaya pada
harapan dan kebahagiaan!” Gadis itu berkata dengan nada tinggi, entahlah siapa
yang sedang ia umpat. Tuhankah? Atau mungkin dirinya sendiri.
Alifah, itulah nama gadis cantik
itu. Gadis yang kini merengkuk di bawah kegelapan langit, dengan menanggalkan
semua kepercayaannya pada Tuhan. Gadis itu tengah terluka, sehelai baju
pengantin telah merebut kebahagiaannya. Tidak, dia tidak sedang dipaksa dalam
perjodohan layaknya Siti Nurbaya, jika kalian berpikir demikian. Dia juga tidak
sedang ditinggal kabur suaminya.
Tiga hari yang lalu, cinta melukai
hatinya. Sebaris kalimat yang cukup untuk meruntuhkan hatinya, gadis bernama
Alifah itu masih ingat benar kata-kata dalam rentetan kalimat yang mampir di
ponselnya.
“Maaf… setelah kembali aku
pikirkan. Mungkin aku tidak bisa bersanding denganmu. Waktu terlalu berharga
bagiku dari hanya sekedar menunggu.”
Kata-kata yang begitu singkat bukan?
Namun cukup untuk membakar hatinya seketika. Manusiawi jika Alifah berubah
seperti saat ini. seorang yang terlanjur ia harapkan telah merenggut semua,
bahkan kepercayaannya pada keadilan Tuhan.
Semua bermula dari satu tahun yang
lalu, ketika seorang ustadz muda di Pondoknya saat ia Aliyah dulu mengajukan
permintaan untuk menjadi nahkodanya. Alifah, gadis itu rupanya sangat kukuh dan
teguh dalam prinsipnya untuk terlebih dahulu menyelesaikan pendidikannya. Tapi
bagaimana hati wanita tidak luluh, ketika perhatian dan kata-kata cinta
bercurahan memasuki ruang hatinya? Begitu pula Alifah. Gadis itu akhirnya luluh
dengan perhatian yang diberikan bertubi-tubi oleh ustadznya itu. Sofyan, itulah
nama ustadz itu. Dia cerdas, mumpuni dalam segala ilmu, dan satu lagi dia
santri kesayangan abahnya.
“Begini dek Alifah, aku akan
mendatangi abahmu, agar kamu percaya padaku,” lelaki muda itu berkata mantap,
tegas dan jelas.
“Silahkan mas buktikan! Jangan hanya
bicara karena Alifah tidak ingin hanya diberi janji.” Gadis di hadapannya
menantang dengan tatapan tajam, lantas beranjak meninggalkan sang lelaki.
Mentari tengah beranjak, mempurnakan
semburat jingganya. Masihkah waktu menjanjikan hal yang sama? Entahlah, gadis
cantik bernama Alifah itu baru saja melangkahkan kakinya hendak melewati daun
pintu ketika sebuah suara menguraikan keheningan senja.
“Aku ingin bertemu dengan abahmu,
apakah beliau ada?”
Alifah, tidak menjawab, ia diam
seribu bahasa. Bergeming meneruskan langkahnya, pemuda yang di belakangnya tak
gentar. Ia ikuti langkah Alifah. Terlihat abah yang berada di ruang tamu
menyambutnya dengan hangat, sejenak mata bening Alifah menangkap keakraban
mereka. Entahlah pembicaraan apa yang terjadi malam itu antara abah dan pemuda
bernama Sofyan itu. Alifah, ternyata gadis itu pada akhirnya luluh dan membuka
hatinya. Menyerahkan kepercayaannya pada Sofyan. Ya, setelah bertubi-tubi kata
cinta tercurahkan untuknya, hatinya nan lembut pada akhirnya mencoba yakin dan
percaya pada seorang Sofyan. Meskipun butuh waktu kurang lebih hampir setahun
untuk meluluhkan hati Alifah, namun Sofyan beruntung. Seorang ustadz yang
membuatnya belajar mati-matian agar ia dapat lolos kelas exelerasy.
“Seharusnya, aku tidak begitu saja mempercayaimu!
Bahkan jika seribu kali kamu menyatakan kesungguhanmu! Kamu bedebah Sofyan!
Tuhan… kenapa Engkau menghukumku? Aku tidak menyakiti siapapun!” Alifah kembali
mengumpat bersamaan dengan kilatan petir.
Mungkin luka yang mencabik hatinya
begitu dalam, hingga gadis itu begitu terpukul. Suara adzan yang merambat
melalui udara dari perkampungan tak lagi ia hiraukan, entahlah apakah
keluarganya mencari? Namun percuma, tempat itu sangat jarang di kunjungi oleh
orang. Telaga itu di apit dua bukit, hanya belantara yang terhampar
disekitarnya. Gelap hanya sinar rembulan yang menerobos rimbunnya dedaunan
lantas memantul pada bening airnya. Semerbak bunga teratai menyebar di udara
terbawa angin malam.
“Lihatlah dirimu nak! Begitukah
caramu hidup?” sebuah suara memecah keheningan, hujan belum berhenti.
Alifah menoleh, mencari sumber
suara. Kegelapan malam membuatnya kesulitan untuk menangkap sosok di seberang
sana. Semakin mendekat, langkahnya terdengar tegas dan jelas.
“Kakek? Bagaimana mungkin kakek ada
di sini? Apakah Alifah sudah memasuki alam yang lain?” Alifah terperanjat
ketika sesosok tua itu mendekat. Seorang yang ia panggil kakek itu tersenyum.
Namun, bukankah sang kakek sudah meninggal semenjak ia masih sangat kecil?
Kakek itu masih tersenyum, lantas
mendekatinya. Hingga tangan kanannya memegang bahu Alifah. Bau wangi kakeknya,
menyeruak ke dalam rongga hidung, bau minyak misk yang selalu dikenakan beliau
semasa masih hidup. Ada sesuatu yang mengalir di antara kedua tangan itu.
Hatinya bergetar hebat, ada rasa penyesalan yang tiba-tiba menyergap. Segelap
itukah hatinya? Hanya karena sehelai baju pengantin? Seberharga itukah kesemuan
hingga membuatnya menanggalkan keabadian? Alifah terisak, terduduk di atas
tanah yang masih basah. Hujan telah renyai, menyisakan kilatan petir di atas
sana. Membuatnya masih dapat menangkap kharismatik kakeknya, sebagai seorang
kyai yang pernah melegenda.
“Cucuku, kakek tahu. Kamu merasa
terkhianati, sakit hati, malu. Bukankah tidak seharusnya engkau menukar harga
dirimu dengan kemarahan? Kenapa menyalahkan Tuhan? Di mata kakek, engkau akan
tetap menjadi gadis yang berbaju pengantin. Bukankah mengenakan baju itu dan
berada pada pelaminan yang abadi jauh lebih menyenangkan? Jangan memilih dunia
ini nak! Dia melakukan semua ini karena Dia sangat mencintaimu, percayalah pada
kakek cucuku.” Kakek melepaskan genggamannya lantas beranjak dari posisinya,
hendak menghilang dalam kelam.
Alifah menangis, masih menangis.
Menyesali segalanya, bukankah manusiawi? Ketika pertama kalinya ia percayakan
hatinya pada seseorang, yang ternyata menghianatinya lantas hatinya berontak
seperti saat ini. Ya, Sofyan. Pemuda itu sudah menyetujui permintaannya untuk
menanti hingga ia selesaikan studinya. Bahkan abah, ibu dan seluruh keluarga,
dan juga para tetangga mengetahui hubungan mereka. Tapi pemuda itu beberapa
hari yang lalu justru telah mengirim surat undangan untuknya. Menggores
wajahnya di hadapan banyak orang.
“Apa yang harus Alifah perbuat
kakek? Hati Alif terlanjur sakit, menanggung malu ”. Alifah bangkit berdiri.
Kakek yang sudah beberapa langkah di
hadapannya, berhenti sejenak. Alifah, nama itu diberikan oleh kakeknya. Kakek
sangat menyayangi cucu perempuan pertamanya itu. Ada harapan di balik nama itu.
Agar cucunya itu menjadi gadis yang tegas, berpendirian teguh, dan juga jejeg lan mantep (teguh dan yakin
kepada-Nya).
“Jika memang begitu sakit, kenapa
engkau tidak berlari saja kepada-Nya nak? Hanya ada dua pilihan. Berlarilah
pada-Nya dan berdamai dengan masa lalu itu, atau terjatuh dalam kegelapan,”
kakek tiba-tiba menghilang dalam kelam.
Alifah berdiri, baru selangkah ia
menapakkan kaki, langkahnya terhuyung. Terduduk pada rerumputan yang masih
basah. Matanya sembab, pandangannya kini berkunang-kunang. Kulitnya yang halus,
kini penuh dengan tanah. Rambutnya tergerai berantakan. Ia pandangi kegelapan
belantara hutan itu. pandangannya semakin berkunang-kunang, namun ia masih
sempat mendengar suara memanggil-manggilnya. Masihkah Alifah dapat memeluk
semua kenangan yang menjelma duri itu? atau ia akan berlari meninggalkan
semuanya. Kini semua keputusan hanya dia yang tau, biarlah ia tentukan dalam
tidur panjangnya.
kumpulan novel kang Musthofa karya Husna asyafa
0 Response to "Gadis Berbaju Pengantin"
Posting Komentar