Kang Mustofa
Cerpen Husna Assyafa
Aku
masih terdiam di samping jendela kamarku, menyaksikan hari yang menggeliat
menarik malam ke dalam pangkuan bumi seolah mereka memamerkan kemesraan mereka.
Di luar sana santriwati tengah berlalu lalang dengan berbagai kitab kuning di
tangan mereka masing-masing. Seharusnya aku sudah bebas, tidak terpenjara
sebagaimana mereka. Tapi aku justru semakin merasa terpenjara dengan
kehidupanku saat ini.
“Maaf
dik, mas tidak bisa menepati janji mas. Tapi mas pikir kamu bisa mengerti dan
memahami kenapa mas ingin menikah lagi. Kasian si Naina, dia sudah hamil. Demi
menjaga kehormatan pesantren kita. Mas harus menikahinya dik,” kata-kata suamiku terus mengiang dalam ingatanku. Suami yang
dengan sepenuh usaha aku memaksakan hatiku untuk mencintainya. Andai saja saat
itu aku dapat memberikan satu alasan yang kuat untuk menolak perjodohan ini,
andai saja Kang Musthofa memberikanku kepastian. Ah sudahlah, toh semua sudah
terlanjur. Aku menerima perjodohan ini demi takdzimku pada Romo Kyai juga pada
restu orang tuaku.
“Assalamualaikum...”
suara mbak Zizi abdi ndalem membuat nyaliku semakin menciut. Pasti di ruang
pertemuan keluarga abah, Umi, dan mas Fuad telah berkumpul menantikanku. Dengan
setengah hati aku beranjak, menjawab salam mbak Zizi, lantas membukakan pintu.
“Ngapunten
Neng Zahro, ditimbali Abah. Didawuhi segera ke ruang tengah,”
panggilan itu, sungguh seolah mengikatku, melemahkanku. YaRabbi... apa yang
nanti akan ku jawab? Bukankah tak pantas sebagai seseorang yang telah
menyandang gelar itu lantas aku tak dapat bijaksana? Tetap teguh pada
prinsipku? Apapun nanti, aku hanya ingin melarikan luka di hatiku ini pada-Mu.
Bersandar pada tubuh-Mu.
Semua
mata tertuju padaku, hening ruangan terasa lengang di antara keriuhan para
santri di luar sana. Aku seolah sebagaimana robot, langkahku terasa kaku oleh
berbagai beban yang kini di pundakku. Tanpa kata, aku mengambil duduk di dekat
Umi, sengaja menghindar dari mas Fuad.
“Bisa
kita mulai nduk?” Abah masih tampak lembut, aku sudah jatuh cinta pada
keluarga ini. Pada Abah dan Umi yang begitu bijaksana dan selalu berkharisma.
Hingga pada akhirnya akupun bisa mulai mencintai mas Fuad. Tapi kenapa? Kenapa
di saat aku mulai mencintainya, dia lakukan ini padaku?
“Bagaimana
nduk?” abah mengulangi pertanyaan itu sekali lagi. Aku mengangguk pelan,
sejenak semua membisu, hanya terasa bau khas teh hijau menyengat ke dalam
hidungku.
“Abah
tidak akan memaksamu nduk untuk mempertahankan pernikahan ini. Abah mau
mendengar keputusanmu,” abah menyerahkan waktu kepadaku. Aku merasa terhimpit
pada lorong waktu saat ini.
Bukankah
jika aku tetap meminta cerai, itu artinya aku memiliki kesempatan untuk kembali
berharap pada kang Musthofa? Toh aku masih suci, pernikahan ini baru terjadi
sebulan dan aku masih suci. Namun, apa kata orang-orang di luar sana? Sebagai
istri dari Gus Fuad aku tidak seharusnya egois, bukankah ini demi kehormatan
pesantren?. Aku mencoba tenang, mengikuti kata hati, meskipun sesungguhnya
terjadi peperangan yang luar biasa dalam hatiku. Aku melirik mas Fuad, ia
terlihat begitu cemas.
“Zahro
ingin bertanya, Zahro harap mas menjawab sejujurnya. Sepahit apapun itu, Zahro
akan mencoba memahaminya.” Aku berhenti sejenak, menatap Abah dan Umi
bergantian, mereka mengangguk.
“Kenapa
harus mas yang menikahi Naina? Kenapa harus mas yang bertanggung jawab? Kenapa
bukan kang-kang santri itu? Bukankah tanggung jawab kita semua menjaga
kehormatan pesantren ini?” pertanyaan-pertanyaanku, bukan karena aku suudzon
pada suamiku sendiri. Tapi aku ingin meluruskan apa yang aku dengar dari para
santri bahwa antara suamiku dengan Naina sudah lama ada hubungan khusus.
“Baik,
aku akan menjawab dengan jujur. Karena aku sangat mencintai Naina, bahkan
sebelum abah menjodohkanku denganmu Zahro. Naina hamil karena aku,” mas Fuad
langsung menunduk tepat pada kalimat akhirnya.
Innalillah,
suamiku yang menghamili Naina. Suamiku yang seorang Gus itu yang melakukannya,
bagaimana mungkin? Tanpa terasa butiran-butiran hangat jatuh satu persatu pada
pipiku. Yang terkejut, terpukul, kecewa di sini bukan hanya aku. Suara isak
tangis Umi terdengar nyaring di telingaku, tangan beliau meremas tanganku.
“Lancang
kamu Fuad, abah kira kamu bisa berubah setelah menikah! Abah malu Fuad,” abah
berdiri, tangannya mengepal menggenggam kekecewaan. Sebelum akhirnya tangan Umi
lebih dulu menarik Abah hingga terduduk kembali.
“Istighfar
bi, sabar.” Umi kini berganti menggenggam erat tangan abah.
Tanpa
aba-aba, mas Fuad duduk di hadapan abah, mencium kaki beliau menangis terisak. Di
luar hujan nampak turun perlahan, semakin lama semakin lebat. Halilintar
tampaknya membelah malam, meninggalkan luka yang membekas di kaki langit sana.
Aku sudah tak tahan lagi, hanya dapat berlari ke kamar.
“Zahro,
aku tidak akan berhenti menyebut namamu dalam do’aku. Tunggu dan doakan aku
segera dapat memeluk mesra semua sajak-sajak-Nya Zahro.” Sms dari kang
Musthofa itu kembali memenuhi ingatanku. Aku telah menghempaskan penantianku
yang tak pasti ujungnya ini dengan harapan dapat hidup dengan tenang. Berharap
mas Fuad menggugurkan kekecewaanku atas ketidakpastian dari kang Musthofa. Tapi
nyatanya, ia menghianatiku menambah luka di hatiku.
Aku
benci pada kenyataan ini, benci pada pilihan Romo Kyai. Sejenak, tiba-tiba aku
merasa kecewa dengan beliau. Bagaimana mungkin beliau melakukan ini padaku?
Atau jangan-jangan beliau sudah tahu siapa sebenarnya gus Fuad?.
“Kamu
berhak membenciku dik Zahro, aku memang salah.” Tiba-tiba mas Fuad duduk di
tepi ranjang, suaranya parau.
Tentu
saja aku sangat berhak membencinya? Dia yang merampas ruang waktuku,
menggugurkan dedaunan rindu yang ku simpan selalu untuk kang Musthofa. Lantas
setelah aku mulai memberikan kunci hatiku? Ia porak-porandakan ruangan yang
bernama hati itu. Kalau saja aku kalap aku pasti sudah menamparnya.
“Aku
ingin engkau menceraikanku Fuad,” hormatku padanya terasa sudah lenyap,
terpendam bersama jurang kecewa yang ia buat di hatiku.
“Baik...
aku akan memenuhi permintaanmu dik Zahro. Tapi, sejujurnya aku pun mulai
mencintaimu sejak kita bertemu,”
Bedebah,
dia masih bisa bicara begitu? Aku tidak ingin lagi terluka lebih dalam. Ya, aku
harus tegas, sekalipun dia adalah seorang “Gus”. Aku tidak peduli lagi pada
jabatannya.
“Jangan
panggil aku dik, mulai malam ini saya tidak akan menganggap anda sebagai
suamiku lagi!” sengaja aku mengenakan bahasa formal, untuk menegaskan
keputusanku pun sebagai batasan antara hubunganku dengannya.
*******BERSAMBUNG**********
Penulis
bernama pena Husna Assyafa, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia pada
tanggal 9 November 1994. Saat ini sedang belajar di IAIN Ponorogo, dan menimba
ilmu di PPTQ Al-Muqorrobin Ponorogo. Mengikuti grup-grup menulis baik online
ataupun tidak. Di antara gerakan literasi online yang diikuti komunitas bisa
Menulis, Ruang Aksara, Laskar Literasi Sajak-Sajak Nusantara, Taktik
Jurnalistik Comunity, dll. Sedangkan gerakan literasi secara tatap muka di
antaranya Sekolah Literasi Gratis STKIP Ponorogo, juga penggagas dan pemimpin
Komunitas Literasi IAIN Ponorogo. Pernah menjadi team editor di buletin Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ponorogo. Cerpen-cerpennya yang menang dalam perlombaan
di antaranya Ruang Cinta Untuk Negeri Kita (harapan III lomba cerpen
IPPNU Ponorogo), dan Senja Bulan September (majalah madani Tulung
Agung). Salah satu puisinya masuk dalam kategori puisi terpilih pada Lomba
cipta puisi RUAS (Ruang Aksara) ke-3. Dan cerpennya yang berjudul Kang
Musthofa memenangkan harapan II lomba yang diadakan Kemenag dalam rangka
‘Gebyar Hari Santri Nasional’ kategori santri, beberapa puisi-puisinya termuat
di koran lokal. Karya penulis yang sudah di terbitkan berjudul Luka dan
Cermin Cinta (2016, oleh Soega Publishing) berupa buku kumpulan cerpen.
Buku antologi puisinya berjudul Melankolia Surat Kematian (Soega
Publishising & komunitas RUAS, 2016). Sedangkan kumpulan cerpen bersamanya
berjudul Almira dan Gholan (Spectrum Sutejo center, Ponorogo), Di
Bawah Naungan Nur (Departemant Agama RI, 2016). Buku kumpulan cerpennya
yang terbaru Kang Musthofa (STKIP Ponorogo & Terakata Jogjakarta,
Februari 2017). Saat ini sedang merampungkan novelnya dan dua antologi puisi
tunggalnya, selain itu saat ini tengah menggagas pendirian komunitas literasi
di Wonogiri. Bisa dihubungi dengan kontak No. HP 085642310866. Fb : Husna
Assyafa.
0 Response to "Kang Mustofa"
Posting Komentar