K.A.
HISYAMUDDIN
A.
Silsilah
Ki
Ageng Hisyamuddin yang biasa disebut dengan nama Mbah Samudin oleh masyarakat
di Kecamatan kismantoro dan sekitarnya merupakan salah satu dari orang-orang
yang melakukan babat di wilayah sekitar Kismantoro. Maqam ini adalah salah satu
di anatara tiga maqam yang dianjurkan oleh PBNU untuk di ziarahi oleh warga
nahdliyin selain maqam Mbah Idris di Tirtomoyo dan Hasan Nur Iman di Selogiri.
Menurut
narasumber yang masih merupakan keturunan dari Mbah Samudin itu sendiri.
Beliau(Mbah Samudin) masih merupakan keturunan dari Sunan Ampel(Surabaya). Dan
dapat dipastikan,jika ditarik keatas lagi Sunan Ampel masih merupakan keturunan
Baginda Rosulullah S.A.W. dari cucu Baginda Rasul yaitu Sayyidina Husein. Hal
ini juga di jelaskan dalam Kitab Tarikhul Awliya’ yang ditunjukkan oleh
narasumber.
Dikatakan
oleh narasumber bahwa Beliau Kanjeng Sunan Ampel memilik dua orang istri, yaitu
Ny. Karimah dan Nyai Condrowati. Dari ny. Condrowati inilah Beliau mendapatkan
dua orang anak yaitu Syeikh Maulana Maqdum Ibrahim(Sunan Bonang) dan Raden Abu
Qosim(Sunan Drajad). Raden Abu qosim memiliki putra tiga orang anak yaitu. Kyai
Pangeran Trenggoono, Kyai Pangeran Sandi(Aryo Gondo Kusumo),dan Siti
Zainab(atau di dalam Kitab bernama Dewi wuryan).
Lalu
Pangeran Sandhi(bermaqam di Mbayat) yang konon dahulu hidup di sekitaran waktu
Kerajaan Mataram Islam yang kala itu hendak berperang dengan Belanda. P. Sandhi
adalah salah satu dari sekian banyak Kyai-kyai di Mataram yang tidak setuju
dengan peperangan. Karena menurut Beliau Paten
tinaten (bunuh membunuh) itu dilarang oleh agama. Oleh karena itu, Beliau
memilih mengasingkan diri terus kearah timur sampai ke daerah yang dipenuhi
hutan dan gunung. Lalu, Beliau berhenti di situ dan menetap di situ bersama
orang-orang lain yang juga tidak setuju dengan paten tinaten/ perang. Beliau memiliki lima keturunan yaitu Raden
Warikh Kusumo(bermaqam di Setren, Lemahbang, Kismantoro), Raden Tejo Kusumo(
bermaqam di Sumuran Kismantoro), Raden Wari Kusumo(bermaqam di Mbalong
Ponorogo), Raden Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Eyang
perkuthut(Klithik, Kismantoro), dan Den Ayu Lumbu(Gedong Giyono, Purwantoro). Dari
sinilah cerita babat Kismantoro dan sekitarnya(khususnya Wonogiri etan dan
Ponorogo kulon).
Lalu
dari Raden Abdurrahman(Eyang Perkuthut) inilah, yang akhirnya menurunkan Kyai
Ageng Samudin(bermaqam di Gunung Malang, Tanjung, Gedawung, Kismantoro. Lalu
K.A. Samudin sendiri memiliki tiga orang anak, yaitu K. Mursodo, K.
Ketib(kutiba), dan K. Norat yang akhirnya menurunkan banyak keturunan di
sekitar wilayah kismantoro. Dan nara sumber sendiri(Muhammad Shohim al-Hidayat)
adalah masih keturunan dari K. Ketib jika terus ditarik keatas garis
keturunannya.
B.
Sejarah K.A.
Hasan Samudin
a.
Berguru ke K.
Hasan Hamidin/Mbah Hamidin(bermaqam di Karanganyar, Gesing, Kismantoro)
Konon
dahulu K.A. Hasan Samudin atau Mbah Samudin adalah seorang ‘Alim yang memiliki
karomah yang luar biasa salah satunya yaitu bisa masuk kedalam kendhi(genthong)
yang tidak mungkin orang bisa memasukinya. Sampai akhirnya bertemulah dengan
Beliau Mbah Hamidin yang justru berkata kalau Mbah Samudin bukanlah seorang
‘Alim Fiqh maupun ilmu, tetapi ‘Alim jeranthakan. Mbah Samudin langsung tidak
terima dengan hal itu lalu menantang Mbah Hamidin beradu ilmu. Akan tetapi,
Mbah Hamidin justru berkata “nek kowe ora
percoyo deloken kae kitab-kitabmu dirumati jin eneng gunung brojo” jika
kamu tidak percaya lihatlah kitab-kitabmu di simpan oleh para jin di Gunung
Brojo(Njoho Purwantoro). Mbah Samudin lalu memastikan hal itu( entah bagaimana
caranya) dan ketika Mbah Samudin mengetahui kebenarannya Beliau pun langsung
meminta berguru kepada Mbah Hamidin.
Di
katakan setelah Beliau Mbah Samudin berguru kepada Mbah Hamidin. Beliau lalu
menikahkan salah satu putrinya dengan Mbah Hamidin. Jadilah ikatan yang rumit
yaitu Mbah Hamidin sebagai guru juga menantu Beliau Mbah Samudin.
b.
Cerita-cerita
mengenai Mbah Samudin
1.
Kesaksian seorang
Kyai yang katanya bernama Habib Umar Mudhofar dari Semarang menurut narasumber
Ketika
Beliau Habib Umar Mudhofar dari semarang (setelah di telusuri ternyata tidak
ada yang namanya Habib Umar Mudhofar yang ada adalah Habib Umar Muthohar
Semarang dan belum terkonfirmasi) hendak melakukan perjalanan menuju Pacitan
menggunakan mobil dan melewati jalur Purwantoro-Kismantoro-Pacitan, Beliau
mendengar salam dari seorang ketika tiba di jembatan Nggedek (perbatasan
Purwantoro-Kismantoro). Lalu ketika sampai di dusun Tanjung, Gedawung,
Kismantoro. Tiba-tiba Beliau mencium bau wangi yang amat semerbak di sekitar
tempat itu. Kontan, beliau langsung menyuruh sang supir untuk berhenti sejenak.
Lalu Beliau habib Umar turun dan mulai bertanya perihal siapakah orang ‘Alim di
sekitar tempat itu sehingga menimbulkan
bau harum yang begitu semerbak. Orang di sekitar justru kebingungan dan berkata
bahwa tidak ada orang ‘Alim disekitar itu. Dan bercerita bahwa yang ada
hanyalah sebuah maqam yang berada di atas bukit yang konon merupakan seorang
wali menurut penduduk sekitar. Lalu beliau Habib Umar bertanya perihal nama
wali tersebut, yang diketahui penduduk sebagai maqam Kyai Ageng Samudin atau
yang biasa dikenal dengan Mbah Samudin oleh masyarakat sekitar. Dan Habib Umar
berkesimpulan bahwa bau harum yang begitu senerbak itu berasal dari maqam Mbah
Samudin.
2.
Mengajak kedua
anaknya yaitu Mbah Mursodo dan Mbah Ketib bertafakur ataupun berkhalwat di Gua
Song Njero Medang
Diceritakan
bahwa beliau Mbah Samudin pernah mengajak kedua anaknya yaitu Mbah Mursodo dan
Mbah Ketib untuk berkhalwat, bermunajat kepada Allah SWT di Guo Song Njero
Medang di lereng Gunung Brojo(tidak makan tidak minum). Setelah sekian lama
bermunajat beliau mengajak anak-anaknya untuk berbuka. Lalu berjalan ke arah
timur laut(mlaku ngalor etan nggunung malang kata narasumber). Lalu Beliau
menetap di atas bukit tempatnya berhenti(yang sekarang dikenal sebagai Gunung
Malang).
Dan ketika Beliau mencari makanan tujuannya
adalah ke sebelah selatan bukit dan menemukan buah sudan dengan cara menggali
dan menemukan buah sudan yang cukup besar dan di bawa kembali ke atas bukit
itu. Dan tempat dimana beliau biasa mencari buah sudan tersebut sekarang
dikenal dengan nama Desa Kayu Sudo. Sesuai dengan kebiasaan beliau mencari buah
sudo atau sudan ditempat itu.
Lalu
ketika beliau hendak mencari air wudlu, beliau pergi ke sebelah tenggara bukit
itu. Dan disan beliau menemukan sumber mata air, yang terapit diantara bebatuan.
Jadi ketika beliau hendak berwudlu beliau harus berpegang pada batu itu
(mbelekake watu) dan konon belekan dari tangan Mbah Samudin sampai membekas di
batu tersebut. Tapi, sekarang tempat dimana Mbah Samudin berwudlu itu sudah
tidak ada. Hanya kesaksian dan cerita orang-orang disekitar saja yang meyakini
adanya tempat tersebut.
Dan
konon juga menurut teman penulis yang katanya juga dari orang-orang sekitar.
Bahwa, disebelah timur maqam terdapat sebuah batu yang dulunya adalah tempat
dimana Mbah Samudin biasa Sholat. Dan Konon dulu terdapat bekas dimana
kaki,lutut,tangan dan kepala beliau ketika bersujud. Tapi, ketika penulis
melihat kondisi sekarang batu itu memang terdapat beberapa lekukan akan tetapi,
sudah tidak seperti yang diceritakan karena mungkin sudah termakan waktu/zaman.
C.
Penutup
Mbah
Samudin di anggap sebagai Wali oleh orang-orang sekitar dan di benarkan dengan
kesaksian oleh seorang Kyai yang konon adalah Habib Umar Mudhofar dari
Semarang. Dan sampai sekarang masyarakat sekitar sangat mempercayainya. Bahkan
setiap lebaran diadakan ziarah bersama ke maqam beliau yang dilakukan warga
sekitar dan juga keturunan-keturunan beliau(Bani Samudin).
Akan
tetapi, miris ketika penulis mengunjungi maqam itu. Disana, terdapat banyak
bekas kemenyan dan lain sebagainya. Karena memang, maqam itu banyak dipakai
ritual nyadran yang dianut masyarakat kejawen disekitar tempat itu.
Selain
itu juga mengenai kebenaran bahwa itu benar-benar maqam Mbah Samudi atau bukan.
Ada dua pendapat di antara masyarkat. Pertama, bahwa itu benar-benar maqam
Beliau. Kedua, itu bukanlah maqam beliau karena beliau yang asli kembali ke
arab dan yang ada bersemayam di maqam itu konon adalah hanya teken(tongkat)
beliau.
Terlepas
dari kebenaran semua hal itu, seperti benarkah itu maqam beliau ataupun
benarkah beliau itu seorang wali seperti yang diyakini masyarakat sekitar
kismantoro. Penulis mengembalikan kebenarannya kepada Allah SWT yang Maha
Mengetahui dari segala makhluk-Nya.
Wallahu
A’lam bisshowaab.
@no_name
assalamualaikum wr wb
BalasHapusmohon maaf sebelumnya ,bagaimana dengan silsilah dari Mbah Hasan Mustari Ngeblok yang kalau ditarik garis lurus ke atas masih keturunan dari Ki ageng Hisyamudin
wasalam